Pada titik inilah kritik dari Masyarakat sudah seharusnya ditanggapi serius dan dijawab dengan bentuk pertanggungjawaban hukum. Pengawasan lingkungan termasuk hutan kerap berhenti pada laporan administratif sementara di lapangan izin eksploitasi diloloskan dengan mudah, tata ruang dilanggar, dan hutan terus menyusut tanpa arah pemulihan.
Pemerintah diam seribu bahasa untuk betul-betul dapat menegakkan hukum pada bos-bos kayu dan tambang tersebut. Kenapa bisa begitu? Warga Indonesia cukup tahu alasannya. Pemerintah seringkali lupa keberpihakan pada keselamatan ekologis ketika dihadapkan pada kepentingan ekonomi jangka pendek. Kritik masyarakat ini bukanlah isu politis, melainkan jeritan bahwa mereka telah terlalu lama dibiarkan tanpa perlindungan yang seharusnya menjadi hak mereka.
Bencana ini mengajarkan bahwa alam sebetulnya tidak pernah benar-benar “murka”, Alam hanya memberi respons terhadap perlakuan manusia. Ketika pohon ditebang tanpa kendali, ketika sungai menyempit oleh sedimentasi dan kebiasaan buruk, ketika gunung ditambang terus atas nama eksploitasi, maka alam bumi yang seharusnya menyambut hujan sebagai keberkahan, kali ini hujan menjadi pemicu bencana. Ingat ya, hanya pemicu, bukan penyebab bencana.
Baca Juga:Kisah Inspiratif Erlyanie, Pendiri B Erl Cosmetics Dari ART hingga Puncak Bisnis KecantikanTiga Rumah di Desa Mekarluyu Terbakar, Anggota DPRD Garut Apresiasi Gotong Royong Warga
Akhir tahun ini semestinya menjadi ruang refleksi. Kita harus kembali pada kesadaran paling dasar bahwa manusia adalah bagian dari alam. Ketika manusia kembali menempatkan diri sebagai bagian dari alam, penjaga alam, bukan penguasa yang tamak, maka alam jugalah yang akan kembali menjaga manusia.
Itu berarti langkah konkret harus segera dimulai: pemulihan kawasan hulu, peninjauan ulang izin-izin ekstraktif, tata ruang yang berorientasi mitigasi, penegakan hukum yang serius dan independen, serta edukasi ekologis yang sistematis. Ingat, kita jaga alam, maka alam jaga kita.
Dan di atas semua itu, ada keluarga-keluarga yang kini hidup dalam tenda pengungsian, kehilangan rumah dan segala harta bendanya, kehilangan pekerjaan, kehilangan anggota keluarga. Mereka membutuhkan lebih dari sekadar bantuan logistik.
Mereka membutuhkan dukungan psikososial, program ekonomi untuk memulai kembali kehidupan, pendidikan bagi anak-anak yang sekolahnya hancur, serta jaminan bahwa relokasi ke tempat yang baru yang benar-benar aman dan layak. Jadikan ini sebagai prioritas.
