Refleksi Akhir Tahun: Duka Indonesia atas Bencana Banjir dan Longsor di Sumatera

Rachminawati (Dosen di Departemen Hukum Internasional FH Unpad)
Rachminawati (Dosen di Departemen Hukum Internasional FH Unpad)
0 Komentar

Penghujung tahun 2025 kali ini diliputi oleh duka yang datang dari Pulau Sumatera di mana beberapa wilayahnya terkena bencana banjir dan longsor yang sangat besar. Hujan yang tak berhenti sejak 24 November menjatuhkan ribuan ton air ke tanah-tanah yang sudah lama kehilangan daya tahannya karena adanya illegal logging.

Sungai meluap, bukit runtuh, desa-desa terendam bahkan ada empat desar yang hilang hanya dalam hitungan jam. Hingga Selasa, 2 Desember, tercatat 631 meninggal dunia, 2600 luka, sedikitnya 3.2 juta jiwa terdampak, dan sekitar 1 juta diantaranya terpaksa meninggalkan rumah dan tinggal di pengungsian. Jaringan komunikasi dan jalan terputus, begitupun pasokan logistik yang sulit sampai di tempat yang membutuhkan.

Bencana ini bagi masyarakat setempat bukan sekadar bencana, tetapi peristiwa mengerikan yang “tak pernah terjadi dalam puluhan tahun”. BNPB menjelaskan bahwa bencana ini akibat curah hujan ekstrem dipicu oleh Siklon Tropis KOTO di Laut Sulu dan bibit siklon 95B di Selat Malaka.

Baca Juga:Kisah Inspiratif Erlyanie, Pendiri B Erl Cosmetics Dari ART hingga Puncak Bisnis KecantikanTiga Rumah di Desa Mekarluyu Terbakar, Anggota DPRD Garut Apresiasi Gotong Royong Warga

Namun, cuaca hanyalah permukaan dari cerita panjang yang jauh lebih gelap dan menyesakkan. Video banjir bandang yang membawa banyak batang pohon besar seperti potongan pohon yang disengaja menumpahkan sebuah fakta yang sulit dibantah bahwa hutan-hutan di hulu telah terlalu lama terluka dan sakit akibat praktek illegal loging.

Pembukaan hutan dan pertambangan jelas telah mengikis daya dukung alam sehingga merusak ekosistem. Dan pada tahap kerusakan paling akhir, ternyata yang rusak adalah tempat tinggal manusia. Derasnya air bah karena tanah yang tak lagi sanggup memeluk air, pada akhirnya mampu menghanyutkan manusia serta tempat tinggalnya tanpa tersisa. Ternyata, pelakunya manusia, korbannya juga manusia. Siapa manusia yang jadi pelaku? Yang pasti aktor utamanya bukanlah korban juga.

Pertanyaan kemudian mengarah pada tanggung jawab negara. Konstitusi melalui Pasal 33 UUD 1945 telah menegaskan mandat pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menempatkan negara sebagai pengawal utama kelestarian lingkungan.

Namun, ketika bencana sebesar ini terjadi dengan fakta gundulnya hutan dan banyaknya batang pohon besar yang terbawa air sampai ke bibir Pantai, wajar sekali jika masyarakat bertanya: sejauh mana fungsi pengawasan terhadap hutan, izin tambang, dan tata ruang sudah ditegakkan? Apakah negara cukup hadir sebelum bencana bukan hanya setelahnya?

0 Komentar