Orang yang hidup dengan diabetes di masyarakat pedesaan Indonesia menghadapi hambatan yang signifikan terhadap diagnosis, pengobatan, dan manajemen berkelanjutan karena terbatasnya akses dan infrastruktur layanan kesehatan.
Penderita diabetes di masyarakat pedesaan Indonesia tidak hanya menghadapi tantangan medis, tetapi juga beban sosial dan ekonomi yang berat. Akses layanan kesehatan yang terbatas, kemiskinan, dan jarak yang jauh ke fasilitas kesehatan membuat diagnosis seringkali terlambat ketika infeksi pada luka DM, atau bahkan amputasi telah merampas kemampuan seseorang untuk bekerja dan menafkahi keluarga. Di banyak desa, penyakit DM ini diam-diam menggerogoti mata pencaharian: seorang petani tidak dapat mengelola lahannya, seorang ibu tidak dapat pergi ke pasar, anak-anak terpaksa memikul tanggung jawab orang dewasa.
Fakta
Di Indonesia, diperkirakan 80% penderita diabetes masih belum terdiagnosis — artinya sekitar 1 dari 5 rumah tangga hidup dengan diabetes tanpa menyadarinya (Ferdina dkk., 2025). Di desa-desa, masalahnya bahkan lebih parah: penduduknya 1,5 kali lebih mungkin hidup dengan diabetes yang tidak terdiagnosis dibandingkan penduduk perkotaan. Bayangkan sebuah komunitas yang terdiri dari 100 orang dewasa meskipun 10 orang mungkin menderita diabetes, hanya dua atau tiga yang tahu. Sisanya terus bekerja, bertani, dan membesarkan keluarga, tanpa menyadari bahwa kerusakan diam-diam telah terjadi pada jantung, mata, dan ginjal mereka.
Baca Juga:Di Balik Kisah Viral Zulfa, Bocah Garut yang Tetap Sekolah Sambil Merawat Adik, Kejar Mimpi Jadi FotograferAnggota DPRD Garut Kunjungi Lansia Sebatang Kara, Lumpuh dan Tak Dapat Bansos
Berdasarkan program nasional, hanya 35% dari mereka yang terdiagnosis mencapai kontrol glikemik yang baik , dan angka ini menurun tajam di provinsi-provinsi pedesaan (Mulyono dkk., 2023). Secara praktis, ini berarti dua dari tiga penderita diabetes tidak berhasil mengelola gula darah mereka — membuat mereka rentan terhadap komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah dengan diagnosis dini dan perawatan lanjutan yang lebih baik.
Banyak Puskesmas di pedesaan Indonesia masih kekurangan glukometer atau alat tes HbA1c yang berfungsi (Organisasi Kesehatan Dunia [WHO], 2023a). Ini berarti seorang petani mungkin baru mengetahui diabetesnya setelah mengalami ulkus kaki atau kehilangan penglihatan — saat-saat ketika biaya perawatan melonjak dan peluang pemulihan menurun drastis. Ini bukan sekadar kegagalan sistem kesehatan; ini adalah krisis keadilan sosial di mana kode pos menentukan kelangsungan hidup seseorang .
