GARUT – Sejarawan Garut, Warjita, menjelaskan bahwa domba Garut bukan hanya sekadar hewan ternak, tetapi juga bagian dari sejarah dan kebudayaan masyarakat Garut. Menurutnya, domba Garut memiliki keunikan yang membuatnya berbeda dari jenis domba lain di Indonesia.
“Domba Garut ini berasal dari hasil persilangan antara domba lokal dengan domba merino dan domba ekor gemuk. Secara fisik, dombanya memiliki badan yang besar, tanduknya melingkar dengan bentuk yang sangat bagus, serta ekornya khas berbentuk ‘buntet’,” ujar Warjita, Selasa (4/1).
Ia juga mengungkapkan bahwa sejarah domba Garut dapat ditelusuri sejak pertengahan abad ke-19.
Baca Juga:PDAM Tirta Intan Garut Bersama PJ Bupati Bahas Peningkatan Layanan Air Bersih dan Perluasan JaringanPengecer Gas Melon di Lebakjaya Garut Mengeluh, Tidak Ada Lagi Pasokan
“Pada tahun 1864, seorang pengusaha teh Belanda bernama K.F. Holle membawa domba merino dan kaapstad ke wilayah Priangan. Kemudian, domba-domba itu disilangkan dengan domba lokal di Kampung Cibuluh, Desa Sukawargi, Kecamatan Cisurupan, dan dari situlah lahir domba Garut yang kita kenal sekarang,” ungkapnya.
Perkembangan domba Garut semakin pesat pada masa Bupati Suryakanta Legawa (1915-1929). “Beliau mengembangbiakkan domba ini secara lebih luas, sehingga akhirnya menjadi identitas daerah Garut. Hingga kini, domba Garut terus dilestarikan dan menjadi kebanggaan masyarakat,” kata Warjita.
Salah satu tradisi yang berkaitan erat dengan domba Garut adalah seni adu ketangkasan. Warjita menyebut bahwa sistem pertandingan adu domba telah mengalami perubahan seiring waktu.
“Kalau zaman dulu, kontes dan adu domba itu disebut ‘sapaehna’, di mana domba akan terus bertarung sampai salah satunya menyerah. Sekarang aturannya lebih terstruktur, dihitung beberapa kali sundulan, dan ketika salah satu domba mundur, maka ia dinyatakan kalah,” paparnya.
Lebih dari sekadar hiburan, adu domba kini menjadi bagian dari warisan budaya yang mengakar di masyarakat Garut. “Hingga sekarang, domba Garut tetap menjadi simbol kebanggaan daerah, melambangkan kegagahan dan kekuatan. Ini bukan hanya tentang peternakan, tetapi juga identitas dan kebudayaan yang harus terus dijaga,” pungkasnya.(rizki)