Radar Garut- Direktur Utama (Dirut) Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) adalah nahkoda dari sebuah kapal besar bernama rumah sakit. Di tangan seorang dirut, nasib ribuan pasien, kesejahteraan staf medis, serta kualitas pelayanan kesehatan menjadi taruhan.
Namun, kerap kali kita melihat perdebatan yang tak ada ujungnya, yaitu tentang, apakah posisi strategis ini harus diisi oleh profesional yang kompeten di bidangnya, atau justru menjadi komoditas politik semata?
Profesionalisme: Pondasi Utama Pelayanan Prima
Dalam menunjuk Dirut RSUD yang profesional merupakan langkah pertama untuk memastikan kualitas pelayanan yang optimal. Dirut profesional merupakan orang yang memiliki rekam jejak teruji dalam manajemen rumah sakit, memahami seluk-beluk medis, keuangan, dan sumber daya manusia.
Baca Juga:Luar Biasa Manfaat Puasa, Sel Tubuh Akan Melakukan Proses AutofagiKetahanan Pangan Bukan Sekadar Program, Tapi Lahan Bisnis Baru!
Dirut harus tahu bagaimana mengelola anggaran secara efisien, menghadapi tantangan epidemiologi, dan mengimplementasikan teknologi kesehatan terbaru. Kompetensi teknis seperti ini tidak bisa didapatkan dari sekadar lobi-lobi politik, melainkan dari pengalaman panjang dan pendidikan relevan.
Seorang Dirut yang profesional akan selalu mengutamakan keselamatan pasien (patient safety) sebagai prioritas utama. Keputusan yang diambilnya didasarkan pada data dan bukti, bukan kepentingan sesaat. Mereka juga mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi para dokter, perawat, dan staf lainnya, sehingga seluruh tim bisa bekerja maksimal.
Jabatan Politik: Ancaman di Balik Seragam Putih
Di sisi lain, penunjukkan Dirut RSUD sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan politik. Posisi ini kadang menjadi “hadiah” atau “balas budi” bagi orang-orang yang berjasa dalam kampanye atau memiliki kedekatan dengan penguasa daerah.
Akibatnya, yang terjadi adalah mismanajemen yang merugikan. Dirut yang tidak memiliki latar belakang atau pengalaman yang cukup akan kesulitan dalam mengambil keputusan strategis. Mereka mungkin tidak memahami pentingnya investasi pada alat kesehatan, gagal merancang sistem antrian yang efektif, atau bahkan terjebak dalam praktik korupsi.
Rumah sakit yang dipimpin oleh “Dirut titipan” cenderung mengalami stagnasi. Kualitas pelayanan tidak berkembang, inovasi terhambat, dan yang paling parah, kepercayaan publik terhadap layanan kesehatan menurun. Pada akhirnya, masyarakat lah yang menjadi korban dari permainan politik ini.