Ijazah Ditahan karena Sumbangan Pendidikan, Apakah Itu Wajar?

Ijazah Ditahan karena Sumbangan Pendidikan, Apakah Itu Wajar?
Ijazah Ditahan karena Sumbangan Pendidikan, Apakah Itu Wajar?
0 Komentar

Radar Garut – Pernahkah Anda mendengar kisah seorang murid yang telah lulus dengan susah payah, tapi tidak bisa melanjutkan hidup karena satu lembar kertas penting tak kunjung diberikan? Bukan karena nilainya kurang, bukan karena ia belum menyelesaikan tugas. Tapi karena orang tuanya belum bisa melunasi sumbangan pendidikan.

Miris, tapi kenyataan seperti ini masih sering terjadi di dunia pendidikan Indonesia. Murid sudah lulus, tetapi ijazah yang merupakan dokumen penting yang bisa menentukan masa depan justru ditahan pihak sekolah sebagai bentuk “pengingat” bahwa ada tunggakan biaya.

Banyak orang tua murid tidak tahu bahwa yang disebut “sumbangan pendidikan” sebenarnya tidak boleh dipaksakan.

Baca Juga:Cara Menurunkan Kolesterol dengan Cara AlamiPensiun Dini PNS: Kejar Mimpi atau Buang Peluang?

Sesuai Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016, sumbangan itu bersifat sukarela, tidak mengikat, dan tidak boleh menjadi syarat layanan pendidikan.

Sayangnya, kenyataan di lapangan berbeda. Ada sekolah yang memaksa, bahkan tidak ragu untuk menahan hak murid jika belum “menyelesaikan” sumbangan. Alhasil, banyak keluarga yang sudah kesulitan ekonomi makin terbebani secara psikologis.

Secara hukum, penahanan ijazah jelas melanggar aturan. Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional dan Undang-Undang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pendidikan adalah hak, bukan sesuatu yang bisa diperdagangkan.

Ombudsman Republik Indonesia juga menegaskan bahwa ijazah adalah dokumen negara yang harus diberikan kepada murid tanpa syarat keuangan. Sekolah tidak boleh memperlakukan ijazah seperti barang gadaian.

Banyak sekolah, terutama swasta, bergantung pada iuran orang tua untuk menutupi biaya operasional. Ketika dana tak masuk, sekolah kelimpungan. Akhirnya, murid yang kurang mampu jadi sasaran. Padahal, ada banyak pendekatan yang lebih adil, misalnya cicilan, dispensasi, atau kerja sama dengan dinas sosial atau pemerintah daerah.

Yang dibutuhkan bukan ancaman, melainkan empati dan solusi.

Tindakan menahan ijazah bisa menghentikan langkah murid untuk melanjutkan studi, mendaftar pekerjaan, atau sekadar membuka peluang baru. Dalam banyak kasus, ini memperpanjang rantai kemiskinan dan membuat anak kehilangan kepercayaan diri.

Satu lembar kertas bisa jadi pembuka masa depan, dan sekolah seharusnya menjadi jembatan, bukan penghalang.

0 Komentar