GARUT – Periode Januari hingga Mei 2025 menunjukkan betapa rentannya Garut terhadap bencana. Data terbaru mengungkapkan bahwa selama lima bulan pertama tahun ini, Garut telah dihantam oleh 235 kejadian bencana alam dan non-alam. Angka ini menjadi pengingat serius bagi kita semua akan pentingnya kesiapsiagaan dan mitigasi bencana.
Dari total kejadian tersebut, tanah longsor mendominasi dengan 128 insiden, menjadikannya jenis bencana yang paling sering terjadi. Kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar berbukit dan bergunung, ditambah dengan intensitas curah hujan yang tinggi di beberapa daerah, menjadi faktor utama pemicu tingginya angka longsor ini. Tak heran, banyak wilayah yang menjadi langganan longsor, terutama saat musim penghujan tiba.
Selain longsor, cuaca ekstrem juga tak kalah mengkhawatirkan dengan mencatatkan 13 kejadian. Fenomena cuaca ekstrem ini meliputi angin puting beliung, hujan es, hingga badai yang berpotensi merusak infrastruktur dan mengancam keselamatan warga. Tak hanya itu, bencana banjir juga masih menjadi ancaman serius dengan 24 insiden yang melanda berbagai pelosok, seringkali diakibatkan oleh luapan sungai atau buruknya sistem drainase. Bahkan, insiden kebakaran gedung dan pemukiman juga dilaporkan terjadi sebanyak 1 kasus selama periode tersebut, menambah daftar panjang kejadian yang memerlukan perhatian serius.
Baca Juga:Pupuk Sportivitas dan kebersamaan, SMAN 17 Garut Gelar PORAKHadapi Tantangan PKL, Pemkab Garut Genjot Persiapan Revitalisasi Pasar Guntur
Wardi Sudrajat, Kepala Seksi Kedaruratan BPBD Kabupaten Garut, menyoroti urgensi situasi ini.
“Tingginya angka tanah longsor menunjukkan kerentanan geografis Indonesia, terutama di daerah-daerah dengan topografi berbukit dan curah hujan tinggi seperti Garut Selatan. BPBD Garut, terus berupaya keras dalam meningkatkan mitigasi bencana. Edukasi kepada masyarakat tentang tanda-tanda awal longsor dan langkah evakuasi mandiri menjadi prioritas kami,” kata Wardi, Kamis (19/6).
Menurutnya, sinergi antara pemerintah daerah, pusat, dan masyarakat adalah kunci utama.
“Kesiapsiagaan bukan hanya tugas pemerintah, tapi juga tanggung jawab bersama. Setiap individu harus sadar akan potensi bencana di lingkungannya dan tahu apa yang harus dilakukan,” tegasnya.
Ia juga menekankan pentingnya pemetaan zona rawan bencana dan pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap guncangan alam.
“Tingginya frekuensi bencana ini menjadi lampu kuning bagi kita semua. Upaya pencegahan, sistem peringatan dini yang efektif, serta respons cepat dalam penanganan pascabencana harus terus ditingkatkan. Dengan demikian, diharapkan dampak kerugian jiwa dan materi dapat diminimalisir,” pungkasnya.(rizki)