Kisah Pilu 8 Pekerja Kebun di Riau: Terjebak Janji Palsu, Berjuang Hidup di Hutan, Hingga Kembali ke Garut

ilustrasi pekerja migran (AI)
ilustrasi pekerja migran (AI)
0 Komentar

GARUT – Delapan pekerja asal Garut, Cianjur, dan Tasikmalaya mengalami pengalaman pahit di Riau setelah tergiur janji upah fantastis mengelola kebun kayu putih. Mereka harus berjuang hidup di tengah hutan belantara selama tiga hari tiga malam tanpa perbekalan, minum air limbah, dan akhirnya berhasil kembali ke kampung halaman setelah mendapat bantuan dari berbagai pihak.

Kisah ini berawal ketika Setiawan, salah satu korban, dihubungi oleh seorang teman berinisial D pada 24 April untuk bekerja di kebun kayu putih di Riau. Namun, keberangkatan tersebut gagal. Tiga hari kemudian, pada 27 April, E dan istrinya R datang menjemput Setiawan. Mereka dijanjikan upah borongan yang menggiurkan, sekitar Rp900 ribu per hektar, dengan potensi penghasilan Rp10 juta jika mampu mengelola 50 hektar dalam sebulan. Iming-iming ini membuat Setiawan dan 11 orang lainnya tergiur.

Mereka akhirnya berangkat pada 28 April, namun keberangkatan sempat tertunda hingga pukul 2 pagi karena menunggu 12 orang pekerja lainnya. Dari rombongan tersebut, dua di antaranya bukan berasal dari Garut, yaitu satu dari Cianjur dan satu dari Tasikmalaya.

Baca Juga:Dana Desa Tahap Pertama di Garut Sudah Seluruhnya DisalurkanPuluhan Elemen Masyarakat Gelar Mimbar Bebas di DPRD Garut, Soroti 100 Hari Kerja Bupati

Setiawan dan rekan-rekannya terkejut saat tiba di lokasi. Mereka dijanjikan bekerja di pabrik kayu putih, namun kenyataannya pekerjaan mereka adalah mengelola perkebunan kayu akasia, bahan baku kertas. Pekerjaan ini pun jauh lebih berat dengan empat tahapan proses. Meskipun kecewa, mereka memutuskan untuk tetap bekerja selama dua minggu.

Puncak kekecewaan terjadi ketika E, orang yang membawa mereka, tiba-tiba menghilang membawa uang kasbon yang seharusnya diterima teman-temannya. Saat mereka mencoba meminta kasbon Rp1 juta, hanya Rp300 ribu yang ditransfer. Situasi ini membuat semangat para pekerja goyah.

“Teman-teman semua sudah merasa aneh, tapi kami terpaksa melanjutkan karena kami terjebak utang logistik sebesar Rp6 juta untuk sembako dan kebutuhan lainnya,” ungkap Setiawan.

Setelah sebulan bekerja dan merasa kondisi semakin tidak jelas, delapan pekerja sepakat untuk melarikan diri pada 29 Mei.

“Kami nekat melewati kanal sedalam 8 meter dan selebar 8 meter. Tidak semua dari kami bisa berenang, sehingga kami menggunakan jeriken sebagai pelampung. Kami menyusuri lahan selama hampir lima jam hingga menjelang subuh, dengan air kanal yang hitam pekat karena limbah. Selama bekerja di sana, kami tidak pernah mendapatkan kiriman dari para pengawas PT air minum bersih jadilah terpaksa mengonsumsi air limbah yang hitam itu,” ungkapnya.

0 Komentar