GARUT – Gagasan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, yang melontarkan ide larangan acara wisuda mulai dari tingkat PAUD, SD, SMP, hingga SMA, Wacana ini langsung memantik perbincangan hangat, tak hanya di kalangan orang tua, tapi juga para pendidik.
Menanggapi hal ini, Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Kabupaten Garut, H. Encep Suherman, menyatakan bahwa pelaksanaan wisuda, khususnya di sekolah swasta, pada dasarnya tergantung sepenuhnya pada keputusan yayasan masing-masing. Sementara untuk sekolah negeri, keputusan biasanya bergantung pada kesepakatan bersama antara pihak sekolah, orang tua, dan siswa.
” Yang pertama kan ada dua sasarannya, sekolah negeri dan sekolah swasta kan. Bagi sekolah swasta sesungguhnya kan itu otonominya di yayasannya, Jadi bergantung pada yayasan sepakat atau tidak, dengan sekolah negeri pun sesungguhnya variatif. Kenapa variatif? Jadi kalau tafsir kita mah gini, itu juga bergantung pada kesepakatannya, jadi akar masalahnya apa, misalnya karena tidak boleh merugikan orang tua, Kalau ada beban orang tua, tinggal itu aja yang disepakati,” ujar Encep Suherman.
Baca Juga:Anggota DPRD Garut Yudha Puja Turnawan Kunjungi Korban Kebakaran di Kampung JambansariPrabowo Janji Bentuk Satgas PHK Nasional: Negara Tak Akan Tinggal Diam!
Ia menambahkan, wisuda atau acara pelepasan bukan sekadar seremoni tanpa makna. Bagi siswa, ini adalah momen penting, puncak dari perjalanan mereka di jenjang sekolah, sekaligus kesempatan untuk mengabadikan kenangan bersama teman seangkatan.
“Yang namanya wisuda itu atau kenaikan kelas atau apapun ya pelepasan, Itu kan hajatnya anak sekolah, dan itu juga bagian dari kurikuler sesungguhnya. Kan kurikuler tidak hanya di dalam kelas, Ini juga di luar kelas, apalagi kan itu puncaknya, puncak euforia anak-anak ya. Ketika mendapatkan, ingin difoto, ingin disaksikan oleh halayak dan sebagainya, Ada dokumentasi,” katanya.
Lebih jauh, Encep menekankan bahwa aturan soal wisuda sebaiknya tidak digeneralisasi. Menurutnya, tidak adil jika kasus-kasus tertentu yang mungkin merugikan orang tua atau siswa dijadikan kesimpulan umum untuk melarang kegiatan tersebut secara keseluruhan.
“Jadi pada prinsipnya kalau kita kan tidak boleh digeneralisasi aturan itu, kalau di suatu saat, di suatu tempat, misalnya ada yang dirugikan sekolah, siswa, atau orang tua jangan menjadi kesimpulan umum, kalau gitu kan kasihan orang tua yang sudah berkreasi, orangtua yang sudah peduli kepada pendidikan, anak-anak yang sudah demikian, Kalau ada komite di sekolah ya, yang penting begitu aja kesepakatan, Jadi kalau dari visi kami, PGRI, sesungguhnya itu fleksibel. Kalau dinyatakan tidak, juga ada yang melaksanakan, tapi tidak ada efek,” tambahnya.