GARUT – DPC Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Kabupaten Garut menyatakan sikap tegas terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur yang masih marak terjadi, termasuk di wilayah Garut. Mereka menyebut fenomena ini bukan hanya tragedi kemanusiaan, tapi juga bentuk nyata dari lemahnya sistem perlindungan negara terhadap korban.
Sarinah Aurely Rizki, Wakil Ketua Bidang Kesarinahan DPC GMNI Garut, mengungkapkan bahwa hingga saat ini, korban kekerasan seksual masih menghadapi berbagai bentuk ketidakadilan yang menyakitkan. Trauma korban itu tidak berhenti di kejadian. Mereka juga harus menanggung stigma sosial, rasa takut, bahkan sulitnya mengakses pendampingan dan keadilan hukum.
Sarinah Aurely mengatakan, kondisi tersebut diperburuk dengan belum adanya sistem penanganan yang terpadu. Layanan pendampingan korban sendiri masih terbatas.
Baca Juga:Puan Maharani: Pemerkosaan oleh Dokter PPDS Adalah Pengkhianatan Serius Dunia MedisEvakuasi Warga Palestina ke Indonesia, TB Hasanuddin: Ini Niat Baik Tapi Perlu Pertimbangan Matang
Sementara akses terhadap layanan psikologis dan hukum juga belum bisa menjangkau semua lapisan masyarakat, terutama mereka yang tinggal di wilayah pelosok.
Di sisi lain, edukasi tentang kekerasan seksual juga masih minim, terutama di sekolah, lingkungan sosial, maupun lembaga keagamaan, sehingga stigma terhadap korban tetap mengakar kuat. Bahkan, penyelesaian secara kekeluargaan yang justru merugikan korban masih menjadi praktik umum.
Dalam kondisi seperti ini, pemerintah daerah, khususnya Bupati Garut, Dinas Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DPPKBPPPA) Kabupaten Garut, dan lembaga terkait lainnya, diminta segera mengambil langkah konkret.
Menurutnya, tidak cukup cuma slogan atau kegiatan seremonial, tetapi dibutuhkan kebijakan yang benar-benar berpihak, membangun sistem perlindungan yang dapat diakses siapa saja, dan memastikan bahwa korban tidak sendirian menghadapi penderitaan mereka.
DPC GMNI Garut percaya bahwa penanganan kekerasan seksual harus dimulai dari keberpihakan yang jelas kepada korban. Dibutuhkan kerja sama lintas sektor, pemerintah, institusi pendidikan, tokoh agama, media, dan masyarakat luas, guna membangun ruang aman, memperkuat edukasi, serta menumbuhkan empati dan solidaritas terhadap korban. Tidak ada tempat bagi kekerasan seksual di masyarakat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
“Kami akan terus bersuara. Kami akan terus mengawal isu ini. Karena keberpihakan pada korban bukan hanya tanggung jawab moral, tapi merupakan bagian dari perjuangan ideologis kami untuk menegakkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat,” tegas Aurely.