Ia mengungkapkan bahwa persoalan utama dalam hal ini ada pada kualitas metode pembelajaran dan buku ajar yang belum cukup mampu menumbuhkan rasa ingin tahu. Pandangan itu disampaikan dalam Musyawarah Ikapi di Jakarta, 19 November 2025.
Pernyataan itu kembali membuka bahwa literasi numerasi Indonesia yang masih memprihatinkan. Matematika tetap dianggap sebagai mata pelajaran menakutkan, meskipun pemerintah sudah mendorong Gerakan Numerasi Nasional melalui pendekatan STEM dengan konsep “Mudah, Murah, Menarik.”
“Iya emang gitu, kita mah ya hitung kancing aja we pas ujian pelajaran matematika, jujur aja kami benci sama matematika, apalagi pas TKA ujiannya beda sama yang diajarkan di sekolah” kata Nesya.
Baca Juga:PHRI Garut: Dua Badai Lebih Parah dari Pandemi, Pendapatan Turun 30 PersenImbas Larangan Study Tour, Kunjungan Wisata Garut Turun Drastis
Kemudian menurut Abdul Mu’ti, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana metode pengajaran yang dilakukan guru? Ataukah buku pelajaran yang belum cukup dekat dengan realitas keseharian?
Berbagai penelitian menunjukkan persoalan ini terlalu kompleks jika hanya dilimpahkan kepada guru. Kompetensi pendidik memang penting, namun bukan satu-satunya faktor.
Beban administrasi berlebih, tuntutan adaptasi kurikulum baru, hingga bahan ajar yang semakin konseptual membuat proses belajar-mengajar jauh dari ideal.
Buku matematika keluaran Kemendikdasmen sejatinya telah dirancang berbasis pemecahan masalah dan visual yang ramah bagi siswa. Tetapi di lapangan, latihan bertahap dan contoh aplikatif sering terabaikan karena guru harus mengejar target penyelesaian materi.
TKA dan Sisa Harapan Perbaikan
Di sisi lain, MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) sudah berupaya menganalisis karakteristik soal TKA yang kini tidak lagi sekadar pilihan ganda sederhana, melainkan pilihan ganda kompleks dan soal berbasis respons kategori.
Namun bagi banyak siswa di Garut, perubahan format asesmen tidak diiringi kesiapan memadai. Tekanan waktu, minim pendampingan, dan momentum pelaksanaan yang kurang tepat membuat mereka merasa seperti “bertarung tanpa amunisi”.
Meski begitu, para pendidik menilai kondisi ini dapat menjadi titik balik perbaikan sistem pendidikan. Jika akar persoalannya mulai terlihat mulai dari metode pengajaran, kualitas pendampingan, hingga relevansi buku ajar maka perbaikan dapat dirancang lebih tepat sasaran.
