“Ya, ada juga manfaatnya. Warga bisa jualan di depan perusahaan, dan sebagian kecil ada yang bekerja di sana,” ujarnya.
Namun, dampak negatif juga dirasakan warga. Karena lokasi perusahaan berdekatan dengan pemukiman, kini banyak berdiri rumah kos bagi para pekerja. Kondisi itu menyebabkan lingkungan menjadi padat, kotor, dan rawan gangguan sosial.
“Dengan banyaknya kos-kosan, pengurus RW jadi kewalahan. Kadang ada perilaku tidak pantas, bahkan pernah ada orang yang dicari polisi sembunyi di kos. Selain itu, karena lahan banyak tertutup bangunan, resapan air berkurang dan jalan depan sering banjir,” papar Yanyan.
Baca Juga:Di Balik Hadirnya Pabrik di Garut: Sebagian Warga Kehilangan Ladang PenghidupanPerjalanan Iwan Cetak Rekor MURI, Seniman Berperan Besar Membangun Identitas dan Kebanggaan Daerah!
Lebih lanjut, Yanyan mengungkapkan bahwa biaya operasional di lingkungan RW 08 kini meningkat tajam, mencapai sekitar Rp5 juta per bulan. Dana tersebut sebagian besar berasal dari iuran warga untuk membiayai ronda malam dan pengelolaan sampah dari rumah kos.
“Kami keluarkan sekitar lima juta tiap bulan untuk operasional RW, seperti bayar petugas ronda dan angkut sampah. Karena kos-kosan makin banyak, otomatis sampah juga bertambah,” katanya.
Sebagai ketua RW, Yanyan mengaku khawatir kurangnya perhatian perusahaan terhadap lingkungan sekitar akan menimbulkan kesenjangan sosial di kemudian hari.
“Kekhawatiran kami, perusahaan ini kurang memperhatikan warga sekitar. Padahal kami di lingkungan yang paling dekat,” ujarnya.
Meski begitu, Yanyan tetap berharap agar ke depan perusahaan bisa lebih terbuka dalam memberikan peluang kerja bagi warga setempat, terutama laki-laki.
“Harapan saya, perusahaan bisa memprioritaskan warga sekitar, khususnya laki-laki. Kalau perempuan memang banyak diterima, tapi laki-laki masih sulit sekali,” pungkasnya. (Muhamad Rizka)
