GARUT — Di balik tembok tinggi Lembaga Pemasyarakatan kelas IIA (Lapas) Garut, tersimpan kisah perubahan dan harapan baru. Tak sekadar tempat menjalani hukuman, Lapas Garut kini menjadi ruang pembinaan yang menyiapkan warga binaannya untuk kembali ke masyarakat dengan keahlian dan kemandirian yang nyata.
Kepala Lapas Garut, Rusdedy, menyampaikan bahwa pihaknya terus berupaya mengubah pandangan masyarakat terhadap lembaga pemasyarakatan yang selama ini identik dengan stigma negatif.
“Kita ingin mengubah stigma masyarakat bahwa lapas bukan tempat menakutkan, tapi sarana pembinaan. Di sini para narapidana kami latih agar siap mandiri setelah bebas,” ujar Rusdedy, saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (14/10).
Baca Juga:Proyek Revitalisasi Pasar Ciawitali Capai 85%, Kadisperindag ESDM Garut Harapkan Wajah Baru Menarik PembeliDari Kampung ke Marketplace, Cerita Adam Pengusaha dan Peracik Kopi Wine Asal Garut
Menurutnya, pembinaan di Lapas Garut difokuskan pada dua hal pembinaan kepribadian dan pembinaan kemandirian. Melalui berbagai pelatihan keterampilan, para warga binaan tidak hanya dididik agar lebih disiplin dan religius, tetapi juga dibekali keahlian praktis yang bisa menjadi modal hidup setelah keluar dari lapas.
“Kami punya pelatihan barista, pembuatan kopi, pelatihan bakery dan roti, sampai keterampilan memasak, ada juga disini seperti ternak dan pabrik tahu dan tempe. Terutama juga yang belajar menenun produk coir shade dari sabut kelapa,” jelasnya.
Saat memasuki tahap asimilasi, para warga binaan mulai diterjunkan ke masyarakat untuk berbaur dan mempraktikkan keahlian yang telah mereka pelajari. Program ini sekaligus menjadi jembatan agar masyarakat bisa melihat langsung perubahan positif para mantan narapidana.
“Asimilasi itu penting. Mereka harus dibaurkan dengan masyarakat supaya stigma buruk itu perlahan hilang. Banyak di antara mereka yang justru berterima kasih karena lewat pembinaan ini, hidupnya benar-benar berubah,” tutur Rusdedy.
Beberapa mantan warga binaan bahkan kini telah membuka usaha sendiri. Ada yang mendirikan uasa kecil hasil dari pelatihan, ada pula yang mengembangkan usaha makanan ringan di kampung halamannya.
“Bayangkan, dulu mereka dicap sebagai orang jahat. Tapi di sini mereka berubah jadi rajin ibadah, disiplin, punya keterampilan, bahkan bisa mengirim uang hasil kerja di lapas untuk keluarganya,” kata Rusdedy.