Oleh: Dr. Heri M. Tohari, Dosen Institut Agama Islam Persatuan Islam Garut
BAYANGKAN kalau kita seumur hidup tidak pernah mengupil. Mungkin kotoran itu akan membenam tepat di depan lubang hidung sebesar bola sepak. Mengeras dan menumpuk di depan muka. Intinya, akan mengganggu estetika ketampanan atau kecantikan seseorang.
Upil, kata yang sederhana. Namun punya daya magis untuk membuat orang tertawa sekaligus merasa jijik. Topik ini seolah remeh-temeh. Tapi justru di situlah letak keagungannya. Bagaimana mungkin sesuatu yang dihasilkan oleh tubuh manusia, yang keberadaannya begitu universal dan alami, menjadi begitu tabu untuk dibicarakan.
Kita bicara tentang politik, ekonomi, bahkan bau mulut dengan santai. Tetapi ketika topik beralih ke “upil”, seketika semua menjadi canggung. Wajah memerah. Dan percakapan pun terhenti. Padahal, upil adalah realitas biologis yang demokratis. Semua orang punya, dari rakyat jelata sampai pejabat negara.
Baca Juga:Mabuk Sambil Bawa Senjata Tajam, D Diamankan Polsek WanarajaRutan Kelas IIB Garut Gelar Latihan Pramuka untuk WBP, Bagian dari Pembinaan Karakter
Mengupil sebenarnya adalah bentuk refleksi kemanusiaan yang paling jujur. Ia tidak mengenal kasta, jabatan, maupun status sosial. Aktivitas ini begitu sederhana. Tapi ironisnya tidak pernah masuk dalam kurikulum pendidikan. Tak ada mata pelajaran yang mengajarkan bagaimana mengupil yang baik dan benar.
Dunia pendidikan dari level sekolah dasar dan perguruan tinggi tampaknya sepakat untuk meniadakan pembahasan upil dari ranah akademik. Mungkin karena takut dianggap tidak sopan. Padahal secara ilmiah, ini adalah persoalan higienitas publik yang serius. Begitupun, masyarakat kita lebih sibuk membahas bansos dan gosip artis daripada mengulas bagaimana seseorang bisa menemukan kedamaian batin lewat mengupil dengan tenang tanpa rasa bersalah.
Kita hidup dalam masyarakat yang begitu hipokrit terhadap upil. Orang boleh mengekspresikan pendapat politik secara lantang di media sosial. Tapi dilarang keras mendiskusikan nasib upil yang menempel di tisu. Berbicara soal upil dianggap subversif. Tindakan berbahaya yang dapat mengguncang tatanan moral bangsa. Padahal, jika direnungkan, mungkin bangsa ini akan lebih sehat jika kita lebih terbuka membicarakan upil ketimbang saling mencaci di kolom komentar.
Negara, dalam konteks ini, seharusnya hadir. Pemerintah perlu membuat regulasi tegas. Larangan menyimpan upil di bawah meja, di jok mobil, atau di dinding kelas yang sering jadi “museum” upil tak bertuan. Bayangkan bila ada Satgas Nasional Penertiban Upil (SNPU). Lengkap dengan slogan: “Bersih dari Upil, Bersih dari Dosa”. Mungkin kebersihan negeri ini akan meningkat secara signifikan.