Apakah Coretan Harus Jadi Syarat Aksi Demonstrasi Didengar?

istimewa
M. Surya Gumilang, S.Pd, M.Hum
0 Komentar

Alih-alih memancing simpati, yang muncul bisa saja rasa jengkel. Dan ketika publik lebih sibuk membicarakan soal kerusakan fasilitas daripada isi tuntutan, bukankah itu justru merugikan gerakan itu sendiri?

Padahal, zaman sekarang menyediakan begitu banyak cara untuk bersuara. Spanduk dan poster memang cara klasik, tetapi masih sangat efektif. Baliho besar bisa dipasang di titik strategis tanpa harus merusak apapun.

Lebih jauh lagi, media sosial memberikan ruang tak terbatas. Satu foto aksi bisa menyebar luas, menjangkau ribuan bahkan jutaan mata, jauh melampaui radius sebuah tembok atau gedung kota. Dengan begitu, pesan tidak hanya bertahan di ruang fisik, tetapi juga menembus ruang digital yang lebih luas dan lebih lama.

Baca Juga:Rutan Garut Serius Wujudkan Nilai PRIMA, Gelar Rapat Evaluasi dan Penguatan Kinerja PegawaiRutan Garut Gelar Doa Bersama, untuk Kebaikan Bangsa dan Negara Indonesia

Aksi demonstrasi di Garut menunjukkan bukti nyata bahwa hal tersebut tetap bisa diperhatikan meski tanpa corat-coret. Aspirasi yang disampaikan lewat orasi dan spanduk tetap sampai pada telinga yang dituju. Media massa tetap meliput dan publik tetap membicarakannya.

Dari sini kita bisa menarik pelajaran penting: kekuatan aksi demonstrasi tidak terletak pada seberapa banyak coretan yang tertinggal, tetapi pada seberapa jelas tuntutannya dan seberapa luas gaungnya.

Namun, kita juga perlu jujur melihat argumen sebaliknya. Ada yang mengatakan coretan adalah simbol. Ia menjadi tapak sejarah yang tidak bisa dihapus begitu saja, seperti mural-mural politik yang dulu melawan rezim otoriter.

Coretan, bagi sebagian orang, adalah bukti nyata bahwa rakyat pernah berani menantang. Tetapi sekarang kita hidup di era yang berbeda. Dokumentasi digital bisa menyimpan simbol dan jejak jauh lebih lama, bahkan abadi dalam bentuk foto dan video. Jika dulu coretan adalah satu-satunya cara meninggalkan jejak, sekarang ia bukan lagi pilihan utama.

Lebih dari itu, coretan seringkali justru menjadi bumerang. Yang tersisa di ingatan publik bukan lagi isi protes, melainkan dinding kotor, pagar rusak, atau jalanan yang sulit dibersihkan. Pesan utama tenggelam, dan gerakan justru dicap sebagai perusak.

Apa yang seharusnya jadi simbol perlawanan malah berubah jadi alasan untuk menolak aspirasi. Maka, wajar jika muncul pertanyaan baru: apakah coretan masih relevan di masa sekarang, ataukah ia justru menjadi beban yang memperlemah suara rakyat?

0 Komentar