Oleh: M. Surya Gumilang, S.Pd, M.Hum (Dosen, Pelukis, Ilustrator Digital)
SETIAP kali ada aksi demonstrasi besar di kota-kota Indonesia, kita hampir selalu melihat jejak yang ditinggalkan. Tembok gedung pemerintahan dipenuhi cat semprot, pagar sekolah dicorat-coret dengan slogan singkat, bahkan rumah warga kadang ikut jadi “kanvas” yang tak pernah mereka minta.
Coretan itu dianggap sebagian orang sebagai bukti perlawanan, tanda bahwa suara rakyat sudah benar-benar dilontarkan dengan lantang. Ia seperti ingin mengatakan: “Kami pernah ada di sini, dan kami tidak diam”. Tetapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah: benarkah sebuah aksi demonstrasi baru dianggap serius jika meninggalkan bekas permanen di dinding atau bangunan?
Kemarin, Garut memberikan contoh yang berbeda. Massa turun ke jalan, menyuarakan kritik terhadap kebijakan, tetapi tidak ada coretan di tembok atau pagar gedung Bupati. Tidak ada cat semprot yang menempel di jalanan.
Baca Juga:Rutan Garut Serius Wujudkan Nilai PRIMA, Gelar Rapat Evaluasi dan Penguatan Kinerja PegawaiRutan Garut Gelar Doa Bersama, untuk Kebaikan Bangsa dan Negara Indonesia
Mereka memilih cara yang lebih “biasa”: orasi yang berapi-api, spanduk yang terbentang, hingga liputan media yang menyalurkan pesan. Dan hasilnya? Suara mereka tetap terdengar.
Aksi mereka tetap mendapat perhatian, bahkan masuk ke pemberitaan. Fenomena ini menarik untuk direnungkan, karena ternyata sebuah aksi demonstrasi bisa tetap lantang meskipun tidak meninggalkan jejak cat di dinding.
Bagi banyak kelompok, coretan memang punya daya tarik tersendiri. Ia murah, cepat, dan abadi. Sekali semprot, pesan bisa bertahan bertahun-tahun, jauh setelah massa bubar. Tidak heran jika coretan di tembok sering dianggap sebagai media protes paling instan sekaligus paling kuat.
Dalam sejarah, mural politik bahkan pernah menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang mengekang. Coretan menjadi bukti visual bahwa ada pihak yang berani menentang, bahwa ada suara yang tak bisa dipadamkan.
Tetapi jangan lupa, ruang publik bukan hanya milik kelompok yang berunjuk rasa. Tembok sekolah, pagar kantor, bahkan rumah warga adalah bagian dari ruang bersama yang semestinya dijaga.
Di titik inilah dilema itu muncul. Kebebasan berekspresi memang hak yang dijamin konstitusi. Namun, apakah kebebasan itu berarti kita boleh mengorbankan kenyamanan orang lain? Saat cat semprot menempel di rumah warga, apakah pesan yang tersampaikan tetap dianggap murni, atau justru berubah menjadi gangguan?