Garut – Dalam kunjungannya ke Lapas Kelas IIA Garut (15/7), Guru Besar Kriminologi FISIP Universitas Indonesia, Prof. Adrianus Meliala, menyampaikan pandangan bahwa Lapas Garut saat ini telah menjadi semacam barometer tidak resmi bagi praktik baik pembinaan narapidana di Indonesia.
Menurut Prof. Adrianus, capaian dan inovasi yang dilakukan Lapas Garut selama ini telah memberikan eksposur dan perhatian luas, baik dari masyarakat maupun para pemangku kepentingan. Namun sayangnya, pengakuan tersebut masih bersifat informal dan belum diformalkan secara kelembagaan.
“Lapas Garut ini sudah menjadi semacam barometer secara diam-diam. Tapi menurut saya, hal itu perlu diformalkan. Kalau tidak, ujung-ujungnya jadi bahan omongan, seperti ‘karena Garut dekat Bandung, dekat Jakarta, jadi gampang maju.’ Padahal semua wilayah punya karakteristik dan potensi masing-masing,” ujarnya.
Baca Juga:Guru Besar Kriminologi UI Kunjungi Lapas Garut, Apresiasi Terobosan dan Inovasi PembinaanSatu Unit Aset Dinas LH Garut Jadi Temuan BPK, Kadis: Mobil Kijang Dicuri Saat Dinas ke Jogja
Untuk itu, Prof. Adrianus menyarankan agar status sebagai model atau barometer pembinaan pemasyarakatan bisa ditetapkan melalui regulasi atau surat keputusan resmi, baik dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan maupun Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan. Hal ini bertujuan agar praktik baik tersebut bisa menjadi acuan nasional, bukan sekadar inisiatif lokal.
Selain itu, ia juga menekankan pentingnya memperkuat kerangka hukum dan kelembagaan dari kerja sama publik-swasta (public-private partnership) dalam pemasyarakatan. Ia menilai bahwa dasar hukum seperti Undang-Undang CSR belum cukup menjamin keberlanjutan kemitraan yang menyentuh ranah sensitif seperti lembaga pemasyarakatan.
“Kalau hanya mengandalkan UU CSR, belum tentu bisa nyambung dengan kebutuhan lapas yang notabene adalah lembaga tertutup. Maka perlu ada peraturan lanjutan, baik di level menteri atau dirjen, agar kemitraan ini bisa dijalankan secara masif dan aman,” jelasnya.
Ia menyoroti pula bahwa salah satu penyebab tidak maraknya program serupa di lapas lain adalah minimnya insentif atau penghargaan bagi para Kalapas dan pejabat pelaksana. Menurutnya, jika program ini dianggap strategis, maka harus ada mekanisme penghargaan formal yang juga mendukung pengembangan karir.
“Banyak Kalapas atau pejabat di lapas lain tidak termotivasi karena tidak merasa ada gunanya melakukan inovasi. Kalau memang ini dianggap baik, harus ada reward-nya. Seperti halnya restoratif justice yang sekarang sudah ada PP, Permen, bahkan jadi kecenderungan nasional,” lanjutnya.