GARUT – Kabupaten Garut telah ditunjuk sebagai salah satu pilot project nasional dalam upaya pencegahan kekerasan pada perempuan dan anak, termasuk penghapusan praktik sunat perempuan. Garut sebagai salah satu dari 11 kabupaten/kota dalam program “Health Sektor Export GPT” (Pencegahan Kekerasan di Sektor Kesehatan) dari tahun 2023 hingga 2025.
Sosialisasi pencegahan praktik sunat perempuan ini secara khusus diadakan di Aula Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, dihadiri oleh dr. Astuti dari Direktorat Pelayanan Kesehatan Kelompok Rentan Kementerian Kesehatan, serta Kabid Kesehatan Garut, dr. Tri Cahyo Nugroho.
Astuti menjelaskan bahwa program ini tidak hanya berfokus pada sunat perempuan, tetapi juga mencakup pencegahan kekerasan secara umum pada perempuan dan anak. Ia menegaskan bahwa praktik sunat perempuan adalah bagian dari kekerasan terhadap perempuan, khususnya pada anak.
Baca Juga:Pemindahan PKL Simpang Lima ke Halaman MPP Garut Masih Tahap SosialisasiTrotoar di Garut Jadi Lahan Parkir dan PKL, Dishub Tak Bisa Tegas Beralasan Itu Kewenangan Provinsi
“Bagaimana sektor kesehatan bisa merespons atau memberikan layanan terhadap korban khususnya untuk perempuan dan anak, di mana di beberapa rumah sakit ataupun puskesmas yang ada di Kab. Garut sudah kita latih untuk memberikan layanan tersebut,” ujarnya, Senin (16/6).
Data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPA) menunjukkan bahwa sekitar 41% perempuan di Indonesia masih mengalami praktik sunat perempuan. Angka ini cukup tinggi, dengan Jawa Barat menjadi salah satu provinsi yang memiliki prevalensi tinggi, menjadikan Garut fokus utama untuk menurunkan dan menghapus praktik ini. Komitmen pemerintah terhadap isu ini semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Kesehatan No. 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Reproduksi, di mana Pasal 6 secara eksplisit mengatur komitmen penghapusan praktik sunat perempuan.
“Ini merupakan suatu regulasi yang dikeluarkan pemerintah yang berkomitmen untuk menghapus praktik sunat perempuan ini, karena memang masih merupakan praktik budaya yang ada di Indonesia, usia tertinggi praktik ini terjadi pada bayi usia 1 bulan, dan dampaknya sangat berbahaya bagi kesehatan. Sosialisasi telah gencar dilakukan sejak tahun 2023 kepada tenaga kesehatan agar tidak melayani praktik sunat perempuan, serta kepada masyarakat luas untuk tidak lagi melakukannya,” kata Astuti.
Senada dengan Astuti, Kabid Kesehatan Garut, Tri Cahyo Nugroho menambahkan bahwa isu kesehatan reproduksi, termasuk pencegahan pemotongan genitalia perempuan, merupakan salah satu perhatian utama mengingat tingginya angka kematian ibu dan bayi. Ia mengklaim bahwa bidan di Garut sudah tidak lagi melakukan praktik sunat perempuan, meski ada permintaan dari masyarakat.