Garut – Kabupaten Garut tengah menghadapi situasi darurat kekerasan seksual yang sangat memprihatinkan, dengan serangkaian kasus yang menohok mata seperti penyodoman 13 anak oleh seorang imam masjid, pelecehan seksual oleh dokter kandungan, hingga kasus inses.
Sosiolog Heri Mohamad Tohari mengidentifikasi beberapa pola dan tantangan utama yang memperparah krisis ini, mulai dari figur pelaku otoritatif, minimnya dukungan bagi korban, hingga munculnya normalisasi kekerasan seksual dalam budaya masyarakat.
Menurut Heri, pola pelaku kekerasan seksual di Garut menunjukkan kesamaan yang mencolok.
Baca Juga:Ini Pelamar Posisi Direksi PDAM Tirta Intan Garut yang Lolos dan Gagal Seleksi AdministrasiFasilitas Mushola Sempit, Keluarga Jemaah Haji Shalat di Halaman Pendopo Garut
“Banyak pelaku adalah tokoh yang dipercaya seperti imam masjid, guru, dokter, dan kerabat dekat. Mereka memanfaatkan posisi dominan dan relasi kuasa terhadap korban yang rentan, seperti anak-anak, atau individu dengan ketergantungan emosional dan ekonomi. Kejahatan ini seringkali terjadi di lingkungan tertutup seperti rumah, tempat ibadah, atau lembaga pendidikan informal, di mana pengawasan minim. Pelaku juga cenderung manipulatif dan intimidatif, menggunakan ancaman atau bujuk rayu agar korban bungkam,” ungkap Heri, Minggu (15/6).
Faktor-faktor internal seperti lingkungan keluarga yang tidak aman, pengaruh media digital pornografi, kemiskinan, dan rendahnya pendidikan turut memicu munculnya kekerasan seksual. Namun, yang paling berbahaya menurutnya adalah munculnya ‘normalisasi kekerasan seksual’ sebagai sistem budaya baru di masyarakat.
Selain itu, stigma sosial terhadap korban dan kurangnya akses layanan bantuan menjadi faktor eksternal yang menyebabkan banyak kasus tidak terungkap.
Menurutnya, korban kekerasan seksual di Garut, menghadapi berbagai tantangan dalam melaporkan dan memproses kasus.
“Stigma sosial yang dirasakan korban berupa rasa takut dan malu, tekanan dari pelaku atau keluarganya, minimnya pendidikan advokasi hukum, prosedur hukum yang rumit, hingga kurangnya pendampingan hukum dan psikologis. Budaya patriarki yang kuat juga memperlemah posisi perempuan, membuat mereka merasa takut, malu, dan enggan melapor,” tambahnya.
Meskipun ketersediaan layanan dukungan bagi korban kekerasan seksual di Garut secara umum sudah dirasakan keberadaannya dan menunjukkan efektivitas, ia menyoroti adanya kendala administrasi pelaporan, keterbatasan sumber daya petugas, serta kurangnya layanan inklusif khusus bagi penyandang disabilitas.
“Ada berbagai faktor dan tantangan utama yang dihadapi dalam melaporkan dan memproses kasus kekerasan seksual antara lain berupa stigma sosial yang dirasakan korban berupa rasa takut dan malu, tekanan dari pelaku atau keluarganya, minimnya pendidikan advokasi hukum, prosedur hukum yang rumit, hingga kurangnya pendampingan hukum dan psikologis korban,” tuturnya.