GARUT – Tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) di Kabupaten Garut menjadi sinyal darurat bagi sistem pelayanan kesehatan. Sepanjang tahun 2024, sebanyak 50 ibu dilaporkan meninggal dunia saat masa kehamilan atau proses persalinan. Sementara itu, 322 bayi gagal bertahan hidup pada masa awal kehidupannya.
Kondisi ini mencerminkan masih lebarnya ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan, terutama bagi masyarakat di wilayah pelosok. Permasalahan tersebut kini menjadi sorotan berbagai kalangan, termasuk anggota legislatif daerah.
Anggota DPRD Garut dari Fraksi PDI Perjuangan, Yudha Puja Turnawan, menilai perlunya sinergi lintas sektor dalam menekan angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB). Ia menekankan pentingnya kolaborasi konkret dan berkelanjutan.
“Kita harus bersama-sama mengatasi permasalahan ini,” ujarnya, Jumat (9/5/2025).
Baca Juga:Warga Keluhkan Kondisi Taman Lansia Garut, DLH Janji Perbaikan BertahapIni Alasan Bupati Garut Berhentikan 3 Direksi PDAM Tirta Intan
Dalam hal ini, Yudha menyoroti keterbatasan infrastruktur sebagai salah satu akar permasalahan. Kabupaten Garut, yang berpenduduk lebih dari 2,8 juta jiwa, idealnya memerlukan sedikitnya 112 puskesmas. Namun hingga saat ini, baru tersedia 67 puskesmas, dan dari jumlah tersebut, hanya 30 puskesmas yang memiliki layanan PONED (Pelayanan Obstetri Neonatal Emergensi Dasar), sebuah fasilitas penting untuk menangani kasus kegawatdaruratan saat persalinan.
“Satu puskesmas untuk melayani 25 ribu penduduk. Itupun puskesmas yang ada belum semuanya ada layanan PONED, layanan untuk untuk persalinan,” ujarnya.
Ia berharap seluruh kecamatan dan desa di Kabupaten Garut ke depan dapat memiliki fasilitas layanan kesehatan yang merata dan dilengkapi dengan layanan PONED sebagai standar minimal.
Pentingnya Intervensi Dini dan Pemeriksaan Kehamilan Berkualitas
Selain peningkatan infrastruktur, Yudha mendorong Dinas Kesehatan Kabupaten Garut agar lebih aktif dalam melakukan pemeriksaan kehamilan yang berkualitas dan menyeluruh. Salah satu langkahnya adalah dengan mengintegrasikan kerja sama antara puskesmas dan pemerintah desa guna melakukan pendataan dan pemantauan terhadap seluruh ibu hamil.
” Ada kolaborasi antara dinkes, puskesmas dan pemerintah desa untuk mengetahui dimana saja ibu hamil agar mereka dapat intervensi,” ujarnya.
Intervensi tersebut mencakup pemberian makanan tambahan bergizi, suplemen kehamilan, dan dukungan nutrisi lain, terutama bagi ibu hamil yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi ekstrem.