Hubungan Emosional Petani dan Bandar Gabah: Antara Kebutuhan dan Kesepakatan Harga

sawah di Garut
sawah di Garut
0 Komentar

GARUT – Di balik setiap musim tanam, ada dinamika yang terjalin erat antara petani dan bandar gabah. Hubungan ini tak sekadar soal jual beli hasil panen, tapi juga menyangkut kepercayaan, ketergantungan, dan kebutuhan ekonomi.

Sejak awal masa tanam, sebagian petani telah menjalin komunikasi dengan bandar gabah. Tak sedikit dari mereka yang meminjam dana kepada bandar untuk modal menanam, membeli pupuk, hingga keperluan operasional lainnya. Imbal baliknya? Saat musim panen tiba, gabah hasil panen akan otomatis dijual kembali ke bandar yang membantu mereka sejak awal.

” Tak sedikit para petani yang menjual tanaman padinya menjelang panen karena butuh uang. Dikalangan bandar cara seperti itu dikenal sistim teplak atau tebas. Harganya pun tergantung kualitas dan jenis biji padinya,” kata Isak bandar gabah dari Leuwigoong, Jum’at (25/4).

Baca Juga:Warga Desa Sukajaya Garut Resah, Monyet Liar Sering Muncul di Area PemukimanPolda Jabar Dalami kasus Dugaan Korupsi Dana Hibah untuk Lembaga Keagamaan di Tasikmalaya

Faktor Penentu Harga: Kualitas, Kadar Air, dan Lokasi

Harga gabah yang ditawarkan di lapangan tidak seragam. Banyak faktor yang memengaruhinya, mulai dari kualitas, varietas gabah, hingga kondisi kadar air dalam biji padi. Gabah yang kering sempurna dan berkualitas tinggi tentu dihargai lebih mahal dibanding yang masih basah atau belum optimal keringnya, yang oleh petani disebut “tuus”.

Para petani sebenarnya berharap harga gabah di lapangan bisa mengikuti Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Namun di sisi lain, para bandar kerap berhitung ulang jika harus membeli gabah basah sesuai HPP. Apalagi mereka umumnya tidak memiliki alat pengukur kadar air yang akurat. Idealnya, gabah yang dibeli memiliki kadar air maksimal 20 persen.Harga Gabah Terus Bergerak

Pemantauan harga gabah di lapangan kini makin intens dilakukan oleh sejumlah pihak. Di beberapa lokasi panen, harga gabah basah kini berkisar antara Rp 570.000 per kwintal—naik dari sebelumnya yang berada di angka Rp 550.000, bahkan sempat menyentuh Rp 520.000 per kwintal di tempat lain karena kualitas yang rendah.

Sementara itu, gabah kering giling (GKG) dengan kualitas tinggi bisa dihargai hingga Rp 700.000 per kwintal.

Salah satu petani dari Cibiuk, Entay, mengaku bahwa harga gabah di tempatnya kini cukup stabil.

0 Komentar