RADAR GARUT – Jalur kereta api Rancaekek–Tanjungsari yang sejak lama nonaktif kini kembali masuk dalam daftar prioritas reaktivasi oleh pemerintah. Rencana tersebut mencuat usai rapat koordinasi antara Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan Kementerian Perhubungan dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang digelar belum lama ini.
Jalur yang memiliki panjang lintasan sekitar 11,2 kilometer ini secara administratif termasuk dalam wilayah aset II PT KAI Bandung. Namun di balik rencana pengaktifannya, jalur ini menyimpan catatan sejarah yang panjang, bahkan sejak masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang.
Mengutip Wikipedia, Jalur Rancaekek–Tanjungsari pertama kali dirancang pada era Pemerintahan Hindia Belanda. Pembangunan jalur ini tidak terlepas dari rekomendasi Menteri Kolonial Belanda, de Waal, yang pada 24 Maret 1869 berdiskusi bersama Kepala Eksploitasi Staatsspoorwegen, J.A. Kool, dan seorang profesor teknik dari Delft, N.H. Henket. Mereka merumuskan rencana besar pembangunan jalur kereta di Hindia Belanda, termasuk penentuan lebar sepur yang akan digunakan.
Baca Juga:BUMDes Diutamakan Harus Masuk Sebagai Penyuplai Program Makan Bergizi GratisJalur Kereta Api Garut–Cikajang Pernah Dibongkar di Masa Pendudukan Jepang, Kini Menanti Reaktivasi
Dalam dokumen rencana umum perkeretaapian yang dirilis pada 20 September 1869, jalur Bandung–Cirebon masuk dalam daftar jalur prioritas yang harus segera dibangun. Jalur Rancaekek–Tanjungsari sendiri menjadi bagian penting dari pengembangan wilayah, dengan tujuan utama mendukung distribusi hasil perkebunan di kawasan Jatinangor serta memperkuat pertahanan militer di Sumedang.
Pembangunan jalur dimulai setelah Pemerintah Belanda menerbitkan Staatblad pada 4 Januari 1916 yang menjadi dasar hukum pembangunannya. Proyek ini kemudian mulai dikerjakan pada tahun 1917 dan rampung pada 13 Februari 1921, ketika jalur Rancaekek–Tanjungsari resmi dioperasikan.
Tak berhenti di situ, pada 23 Februari 1919 pemerintah kolonial juga mengeluarkan peraturan pembangunan lanjutan menuju Citali. Namun, segmen ini tidak pernah terselesaikan karena kondisi ekonomi yang terpuruk akibat Perang Dunia I dan krisis global Depresi Besar. Kendati jalur Tanjungsari–Citali tak pernah selesai, sisa-sisa konstruksi seperti bekas pondasi jembatan di kawasan timur Stasiun Tanjungsari yang dikenal masyarakat dengan nama Tunggul Hideung, masih menjadi saksi bisu sejarah gagalnya proyek tersebut.
Jalur ini sempat beroperasi hingga tahun 1942, sebelum akhirnya dinonaktifkan akibat kebijakan pembongkaran rel oleh Pemerintahan Jepang yang mempekerjakan romusa saat pendudukan militer di Indonesia. Meski demikian, beberapa peninggalan fisik dari jalur ini masih bisa ditemui hingga saat ini, seperti Jembatan Cincin Cikuda, Viaduk Jatinangor, dan bangunan Stasiun Tanjungsari yang kini difungsikan sebagai kantor sekretariat Persatuan Purnawirawan ABRI Tanjungsari.