Jepang juga membentuk lembaga bernama Rikuyu Sokyoku, yang mengontrol seluruh transportasi darat non-militer di Pulau Jawa dan Madura. Biro ini berpusat di Bandung, mengambil alih bekas kantor pusat Staatsspoorwegen, dan mempekerjakan tenaga ahli dari Belanda dan Indonesia untuk mengelola armada kereta, truk, hingga angkutan rakyat.
Setelah kekalahan Jepang dan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, para pekerja kereta api yang tergabung dalam Djawatan Kereta Api Republik Indonesia (DKARI) mengambil alih aset perkeretaapian, termasuk mencoba memulihkan jalur-jalur yang sebelumnya dibongkar.
Garut, Cisurupan, dan Bandung Lautan Api
Di tengah gejolak revolusi kemerdekaan, DKARI sempat memindahkan beberapa kantor penting ke Garut dan sekitarnya akibat situasi Bandung yang semakin tidak kondusif. Bahkan sempat muncul layanan kereta ekspres dari Solo menuju Garut untuk memperlancar arus mobilisasi rakyat, terutama yang terdampak oleh peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946, momen ketika kota Bandung dibakar habis oleh penduduknya demi mencegah pendudukan tentara Sekutu.
Baca Juga:Bagaimana Jika Jalur Kereta Api Cikajang Disambung Hingga ke Pameungpeuk, Cikelet, Caringin?Reaktivasi Jalur Kereta Garut-Cikajang, Mesin Baru Hidupkan Pariwisata Lokal
Namun sayangnya, meskipun kantor DKARI sempat pindah ke Cisurupan, jalur menuju Cikajang tetap tak bisa dipakai. Relnya sudah lebih dulu dibongkar Jepang dan belum pernah dibangun kembali.
Upaya Pemulihan Pasca-Perang
Pasca-perang kemerdekaan, Belanda kembali menduduki sebagian wilayah Jawa Barat dan mulai memperbaiki infrastruktur yang hancur, termasuk jalur kereta api. Perusahaan gabungan kereta api milik Belanda, SS/VS, bergerak cepat merekonstruksi jalur Garut–Cikajang yang sempat hilang dari peta. Stasiun Garut pun dibangun ulang setelah bangunan lamanya dihancurkan. Arsitekturnya kemudian mengadopsi gaya modern mirip Stasiun Karawang yang diresmikan pada 1930.
Namun, seiring waktu dan perubahan transportasi yang bergeser ke jalan raya, jalur ini perlahan ditinggalkan dan akhirnya mati suri.
Menanti Napas Baru di Rel Tua
Kini, setelah puluhan tahun hanya menjadi jejak sejarah, jalur kereta Garut–Cikajang bersiap menjemput babak baru. Jika wacana reaktivasi ini benar-benar terwujud, bukan hanya nostalgia yang hidup kembali, tapi juga geliat ekonomi, pariwisata, dan konektivitas wilayah selatan Garut yang akan makin mudah.