GARUT – Rencana pemerintah untuk menghidupkan kembali jalur kereta api Garut-Cikajang menuai beragam reaksi dari masyarakat, khususnya warga yang selama ini tinggal dan memanfaatkan lahan milik PT Kereta Api Indonesia (KAI) di sepanjang lintasan tersebut. Jalur yang telah lama tak aktif ini, belakangan masuk dalam prioritas reaktivasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, Kementerian Perhubungan, dan PT KAI.
Hendra Jaenuri, salah seorang warga yang menempati area eks jalur rel tersebut, mengaku pihaknya bersama warga lain menyambut baik kemajuan transportasi di Garut. Namun, ia juga menegaskan bahwa perlu ada kejelasan nasib bagi masyarakat yang telah puluhan tahun bermukim di atas lahan tersebut.
Dalam menyikapi rencana reaktivasi, Hendra mengajukan dua opsi solusi yang diharapkan bisa dipertimbangkan oleh pihak pemerintah maupun PT KAI. Menurutnya, opsi ini merupakan bentuk jalan tengah agar rencana pembangunan tetap berjalan, tanpa mengorbankan hak-hak warga.
Baca Juga:Nusakambangan Panen Perdana, Bangun Lumbung Ketahanan Pangan dan Beri Kesempatan Warga BinaanPengguna Lahan PT KAI Beri Suara Terkait Rencana Reaktivasi Jalur Garut–Cikajang
Dua Pilihan Solusi dari Warga
Opsi pertama, kata Hendra, warga berharap diberikan kesempatan untuk membeli lahan milik PT KAI yang selama ini mereka tempati. Ia mengungkapkan bahwa wacana ini sejatinya bukan hal baru, sebab sebelumnya pernah muncul usulan agar tanah-tanah tersebut dijual kepada warga atau ditukar guling dengan lahan lain yang masih kosong.
“Usul kepada Gubernur Dedi Mulyadi, jalan PT KAI bisa mencari lagi jalur alternatif yang belum ditempati. Garut itu sangat luas, banyak pilihan yang bisa dikembangkan tanpa harus ada pembongkaran rumah warga,” tutur Hendra, Jumat (18/4).
Ia menambahkan, apabila opsi penjualan lahan ini disetujui, warga bersedia membelinya dengan skema pembayaran yang terjangkau, seperti sistem cicilan.
Opsi kedua, lanjut Hendra, jika reaktivasi tetap berjalan di jalur lama yang sudah ditempati, maka warga meminta kompensasi yang adil dan layak. Menurutnya, kompensasi ini harus cukup untuk menggantikan biaya pembangunan rumah baru atau pembelian lahan baru, sehingga warga tidak dirugikan dalam proses relokasi.
“Yang kami harapkan, kompensasinya benar-benar sesuai dengan nilai bangunan dan luas tanah yang kami miliki saat ini,” jelasnya.