Waspadai Dampak Kekerasan dalam Keluarga Terhadap Mental Anak di Bawah 5 Tahun

dr Cahyandari N (foto rizkiperatami/Radar Garut)
dr Cahyandari N (foto Rizkiperatami/Radar Garut)
0 Komentar

GARUT – Kondisi mental orang tua sangat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Kekerasan yang dialami anak sejak dini dapat meninggalkan trauma mendalam hingga dewasa.

Dokter Rehabilitasi Medis, Cahyandari Nurlaelatiningsih, menegaskan bahwa anak-anak seharusnya tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sehat secara mental. Orang tua yang tidak sehat mental berisiko besar melakukan kekerasan terhadap anak, terutama mereka yang masih berusia di bawah lima tahun.

“Anak di bawah lima tahun sangat rentan karena mereka sepenuhnya bergantung pada orang tua. Kalau orang tua tidak sehat mental, pasti dampaknya ke anak. Kita harus memastikan kondisi kesehatan mental setiap pasangan sebelum mereka menikah dan memiliki anak,” ujar Cahyandari, Sabtu (9/2).

Baca Juga:Polsek Cibatu Ungkap Jaringan Peredaran Motor Hasil CurianAksi Pencurian di Pabrik Kardus Cimaragas Garut Digagalkan Warga, Pelaku Ditangkap Polisi

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik, tetapi juga psikis, sosial, dan eksploitasi.

“Ketika anak mengalami kekerasan, terutama dari orang terdekat seperti ayahnya sendiri, maka otak tengahnya akan menyimpan memori tersebut dengan sangat kuat. Anak menjadi sangat cemas, mudah takut, dan tidak tahu bagaimana harus bereaksi. Ini bisa berdampak jangka panjang pada kepercayaan diri dan kemampuannya bersosialisasi di masa depan,” jelasnya.

Salah satu contoh kasus yang sering terjadi adalah keluhan dari seorang ibu yang mendapati anaknya mengalami kekerasan dari ayah kandungnya sendiri.

“Anak saya jadi penakut. Setiap kali mendengar suara keras, dia langsung menangis dan bersembunyi. Dulu, suami saya sering membentak, memukulnya, hingga mengurungnya di kamar mandi di usia yang masih sekitar 2 tahun kalau dia menangis atau rewel. Saat ini, anak saya tetap menunjukkan tanda-tanda trauma,” ungkap seorang ibu yang tak mau mengungkap identitasnya.

Menanggapi kasus tersebut, Cahyandari menegaskan pentingnya pendampingan khusus bagi anak korban kekerasan.

“Otak tengah anak menjadi sangat hipereaktif. Misalnya, saat mendengar suara keras, aliran darahnya langsung ke otak tengah sehingga ia otomatis merasa terancam, meskipun situasinya tidak berbahaya. Ini karena otak tengah menyimpan pengalaman buruk yang ia alami,” paparnya.

Sebagai langkah pemulihan, Cahyandari menyarankan agar anak mendapatkan perlindungan dari anggota keluarga yang benar-benar bisa menjaga dan memberikan rasa aman.

0 Komentar